Hari itu, di tanggal 12 Januari pukul 21.30 WITA, aku lagi beres-beres rumah setelah seharian beraktivitas di kantor. Handphoneku yang tergeletak di samping kasur, tiba-tiba berbunyi. Mamaku menelepon mengabarkan bahwa papa sesak nafas. Mama meminta aku untuk membujuk papa agar mau dibawa ke Rumah Sakit untuk pasang oksigen.
Memang, sudah lama almarhum Papa sakit namun masih tetap bisa beraktivitas. Sakit yang diderita papa sejak Januari 2023. Almarhum papa sering enggan untuk berobat, selalu dibujuk bahkan dipaksakan untuk rajin kontrol, cek up kesehatan dan meditasi ke dokter ahli. Beruntung ada mamaku yang selalu siap siaga untuk Papa.
Sejak dua bulan yang lalu, sakit Papa semakin parah, sudah susah berjalan sehingga harus berbaring terus di ranjang. Papa sempat aku bawa di salah satu rumah sakit di Manado, tetapi kondisinya semakin memburuk.
Perasaan tidak enak mendadak menyelimuti hatiku. Setelah mama menutup teleponnya, aku langsung menelpon suamiku, yang saat itu masih menyelesaikan pekerjaannya di Kantor. Sambil terisak aku informasikan kalau Papa lagi sesak nafas. Hening. Suamiku mengizinkan aku pulang Kotamobagu. Karena saat itu sudah pukul 22.00 WITA, maka aku putuskan saja untuk berangkat keesokan harinya.
Inilah penyesalan terbesarku hingga saat ini yang selalu menghantuiku. Kenapa aku tidak langsung pulang saja malam itu dengan sewa mobil rental atau naik bis rute Palu - Manado. Kenapa malam itu juga aku tidak segera berangkat pulang ke Kotamobagu, sehingga Papa masih bisa aku lihat untuk terakhir kalinya walaupun sudah tiada, ketimbang yang kudapati hanya tanah pekuburan Papa.
Setelah menelpon Suamiku, suasana hatiku makin tidak tenang. Aku putuskan untuk Video Call dengan Umi Wanti, sepupu mamaku, sebab adikku Pipit sedang tidak berada di rumah dan sedang dinas malam di RSUD Pobundayan. Aku melihat Papa melalui video call-an, tapi karena penyakitnya yang menyerang Pita Suara Papa, makanya Papa gak bisa bercerita, tetapi masih sadar saat itu. Dari raut wajahnya Papa terlihat tegar dan seakan berkata, Papa tidak apa-apa. Saat itu jam menunjukkan pukul 22.49 WITA. Terlihat genangan air mata Papa, bergulir tipis di pipinya yang terlihat makin kurus. Mama menguatkan hatiku dan berkata, "Papa gak apa-apa, insya Allah nanti besok pagi saja pulang Kotamobagu."
Sekitar Pukul 23.30 WITA panggilan Video masuk lagi. Badanku langsung gemetar. Terlihat banyak orang di sekitar kamar Papa. Keadaan Papa terlihat drop. Papa sedang menghadapi Sakaratulmaut. Kaki dan Semua badanku gemetar. Aku syok dengan kondisi seperti ini, apalagi aku masih ada di daerah Rantau.
Melihat keadaan Papa, aku refleks menangis histeris walaupun hanya melalui video call handphone. Terdengar orang-orang di sekitar Papa menyuruh untuk menghentikan Video Call, takut mengganggu Papa yang sementara Sakaratulmaut.
Aku jadi bingung sendiri setelah telepon berakhir. Ditambah suamiku yang tiba-tiba berangkat ke Kota Gorontalo malam itu juga karena ada panggilan dari Kampusnya untuk pertemuan persiapan Ujian akhir pasca sarjana besok hari. Kedua anakku sudah tidur lelap. Aku bergegas ke Kamar mandi, mengambil wudhu, trus Sholat 2 rakaat walaupun aku gak tau itu sholat untuk apa. Pikiranku kosong Ya Allah... Kepada siapa lagi aku mengadu kalo bukan kepada-Mu Ya Allah.
Niatku sholat 2 rakaat, meminta kepada Allah kalau memang sudah waktunya Papa untuk pulang, semoga dimudahkan Sakaratul mautnya, dan masih akan tetap diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Papa walaupun sudah menjadi mayat untuk memeluk dan menciumnya terakhir kali. Tepatnya, Sholat 2 rakaat ini hatiku ingin bernegosiasi dengan Yang Maha Kuasa, Yang Maha mengatur, Allah SWT.
Selesai shalat, aku mengaji walaupun dengan pikiran yang masih kosong. Ya Allah, sungguh berat rasanya cobaan ini. Aku bingung, ingin rasanya malam ini juga segera berangkat ke Kotamobagu, tapi mau naik apa. Sementara suamiku malam itu juga sudah berangkat ke Kota Gorontalo. Mungkin kalau ada Suamiku saat itu, aku gak sepanik dan setegang ini.
Malam itu aku gak bisa tidur. Tepat pukul 03.00 Dini hari di tanggal 13 Januari 2024, panggilan Video Call dari sepupuku masuk lagi. Aku sudah gak kuat melihat kondisi Papa saat itu. Dengan suara gemetar karena menangis, aku informasikan ke saudara sepupuku, Caca dan Papa Afliya (Ka Tito) untuk membisikkan ke telinga Papa, kalau sudah mau pergi gak perlu menunggu aku pulang ke Kotamobagu. Aku sudah ikhlas Papa pergi untuk selamanya.
Ya Allah, tak ada yang dapat menggambarkan suasana hatiku saat itu. Air mataku bergulir lincah di kedua pipiku, tak bisa dibendung.
Memang, sudah lama almarhum Papa sakit namun masih tetap bisa beraktivitas. Sakit yang diderita papa sejak Januari 2023. Almarhum papa sering enggan untuk berobat, selalu dibujuk bahkan dipaksakan untuk rajin kontrol, cek up kesehatan dan meditasi ke dokter ahli. Beruntung ada mamaku yang selalu siap siaga untuk Papa.
Sejak dua bulan yang lalu, sakit Papa semakin parah, sudah susah berjalan sehingga harus berbaring terus di ranjang. Papa sempat aku bawa di salah satu rumah sakit di Manado, tetapi kondisinya semakin memburuk.
Perasaan tidak enak mendadak menyelimuti hatiku. Setelah mama menutup teleponnya, aku langsung menelpon suamiku, yang saat itu masih menyelesaikan pekerjaannya di Kantor. Sambil terisak aku informasikan kalau Papa lagi sesak nafas. Hening. Suamiku mengizinkan aku pulang Kotamobagu. Karena saat itu sudah pukul 22.00 WITA, maka aku putuskan saja untuk berangkat keesokan harinya.
Inilah penyesalan terbesarku hingga saat ini yang selalu menghantuiku. Kenapa aku tidak langsung pulang saja malam itu dengan sewa mobil rental atau naik bis rute Palu - Manado. Kenapa malam itu juga aku tidak segera berangkat pulang ke Kotamobagu, sehingga Papa masih bisa aku lihat untuk terakhir kalinya walaupun sudah tiada, ketimbang yang kudapati hanya tanah pekuburan Papa.
Setelah menelpon Suamiku, suasana hatiku makin tidak tenang. Aku putuskan untuk Video Call dengan Umi Wanti, sepupu mamaku, sebab adikku Pipit sedang tidak berada di rumah dan sedang dinas malam di RSUD Pobundayan. Aku melihat Papa melalui video call-an, tapi karena penyakitnya yang menyerang Pita Suara Papa, makanya Papa gak bisa bercerita, tetapi masih sadar saat itu. Dari raut wajahnya Papa terlihat tegar dan seakan berkata, Papa tidak apa-apa. Saat itu jam menunjukkan pukul 22.49 WITA. Terlihat genangan air mata Papa, bergulir tipis di pipinya yang terlihat makin kurus. Mama menguatkan hatiku dan berkata, "Papa gak apa-apa, insya Allah nanti besok pagi saja pulang Kotamobagu."
Sekitar Pukul 23.30 WITA panggilan Video masuk lagi. Badanku langsung gemetar. Terlihat banyak orang di sekitar kamar Papa. Keadaan Papa terlihat drop. Papa sedang menghadapi Sakaratulmaut. Kaki dan Semua badanku gemetar. Aku syok dengan kondisi seperti ini, apalagi aku masih ada di daerah Rantau.
Melihat keadaan Papa, aku refleks menangis histeris walaupun hanya melalui video call handphone. Terdengar orang-orang di sekitar Papa menyuruh untuk menghentikan Video Call, takut mengganggu Papa yang sementara Sakaratulmaut.
Aku jadi bingung sendiri setelah telepon berakhir. Ditambah suamiku yang tiba-tiba berangkat ke Kota Gorontalo malam itu juga karena ada panggilan dari Kampusnya untuk pertemuan persiapan Ujian akhir pasca sarjana besok hari. Kedua anakku sudah tidur lelap. Aku bergegas ke Kamar mandi, mengambil wudhu, trus Sholat 2 rakaat walaupun aku gak tau itu sholat untuk apa. Pikiranku kosong Ya Allah... Kepada siapa lagi aku mengadu kalo bukan kepada-Mu Ya Allah.
Niatku sholat 2 rakaat, meminta kepada Allah kalau memang sudah waktunya Papa untuk pulang, semoga dimudahkan Sakaratul mautnya, dan masih akan tetap diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Papa walaupun sudah menjadi mayat untuk memeluk dan menciumnya terakhir kali. Tepatnya, Sholat 2 rakaat ini hatiku ingin bernegosiasi dengan Yang Maha Kuasa, Yang Maha mengatur, Allah SWT.
Selesai shalat, aku mengaji walaupun dengan pikiran yang masih kosong. Ya Allah, sungguh berat rasanya cobaan ini. Aku bingung, ingin rasanya malam ini juga segera berangkat ke Kotamobagu, tapi mau naik apa. Sementara suamiku malam itu juga sudah berangkat ke Kota Gorontalo. Mungkin kalau ada Suamiku saat itu, aku gak sepanik dan setegang ini.
Malam itu aku gak bisa tidur. Tepat pukul 03.00 Dini hari di tanggal 13 Januari 2024, panggilan Video Call dari sepupuku masuk lagi. Aku sudah gak kuat melihat kondisi Papa saat itu. Dengan suara gemetar karena menangis, aku informasikan ke saudara sepupuku, Caca dan Papa Afliya (Ka Tito) untuk membisikkan ke telinga Papa, kalau sudah mau pergi gak perlu menunggu aku pulang ke Kotamobagu. Aku sudah ikhlas Papa pergi untuk selamanya.
Ya Allah, tak ada yang dapat menggambarkan suasana hatiku saat itu. Air mataku bergulir lincah di kedua pipiku, tak bisa dibendung.
Panggilan telepon video call dan informasi di WA Group keluarga tak henti-hentinya masuk. Disaat mendekati ajalnya, Video Call dari Caca masuk lagi. Ia berkata lirih menahan sendu, "Madam... yang kuat neh, tahan itu tangisan....
Terlihat Papa menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya, sambil mengangkat tangannya seperti ber-Takbiratul Ihram, dan mendekapkan tangannya diatas dada. Berlalu dalam kesunyian dan meninggalkan perasaan sesak bagi keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, Tugas Papa sudah selesai tepat 1 Rajab 1445 H. Selesai Adzan Subuh, Papaku berpulang ke Rahmatullah. "Ya Allah, ini adalah (saat) datangnya siang-Mu, dan perginya malam-Mu, dan terdengarnya doa-doa untuk-Mu, maka ampunilah Aku, ampunilah Papaku"
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Aa’fu ‘anhu Wa Akrim Nuzulahu Wa Wassi’ Madkhalahu, Waghsilhu Bil Maa i Wats-tsalji Walbarodi Wa Naqqihii Minal khathaa Ya Kamaa Yunaqqats-Tsawbul Abyadhu Minad Danas.
Papa sudah tidak sakit lagi, itu kata-kataku yang terakhir saat melihat Papa menghenbuskan nafas terakhir. Penyesalan tersebarku sepanjang hidupku yang akan menghantui nanti, Papa selalu ada untukku, tapi disaat kepergiannya Aku tidak ada di samping Papa. Tangisanku pecah di kesunyian malam.
Papa yang selalu memberikan nasehat untukku sejak berumah tangga. Papa yang menasehatiku untuk segera cepat-cepat urus pindah tugas setelah menikah, untuk mengikuti suami yang bertugas di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Papa yang sangat ikhlas melepaskanku tanpa ragu bahkan menyemangatiku ikut bersama Suami merantau. Aku masih ingat, Papa berkata saat itu, "Iko pa Ipul neng, cepat-cepat urus itu pindah supaya ngana pe Rumah Tangga mo nonoy"
Papa selalu ada untukku, tapi saat kepergiannya, aku gak berada disampingnya. Papa orang yang gak pernah selalu mengutarakan rindunya padaku, tetapi sangat kurasakan kerinduan Papa. Papa hanya selalu bertanya ke Mama, "Ndaa dia' pa doman mo bui adi?!" Beda dengan Mamaku, setiap menelpon selalu bilang, "Neng eee Mama' mokotanob..". Ya Allah, anak macam apa aku ini?
Moment yang paling menyakitkan dalam hidupku. Semua proses dari papa menghembuskan nafas terakhir hingga penguburannya hanya aku saksikan melalui Video Call, sepanjang perjalanan dari Pohuwato ke Kotamobagu yang ditempuh selama 11 Jam perjalanan. Sepanjang jalan aku terus menangis dan muntah-muntah gak enak badan. Ya Allah monakit dodob aaaaa...
Subuh itu, hatiku patah tak bertepi, cinta pertamaku telah pergi untuk selamanya. Setiap mendengarkan Adzan subuh, air mataku langsung mengalir deras. Kejadian subuh di tanggal 13 Januari 2024 akan membekas selamanya dalam hari-hariku. Semakin lama bukan semakin berkurang, justru semakin menyesakkan dada.
Semua manusia menyadari bahwa yang namanya kematian adalah hal yang pasti bahkan jauh lebih pasti dari kemungkinan tidak jatuhnya makanan yang hendak disuap ke dalam mulut. Setelah itu, semua ambisi berakhir begitu saja dan meluluhlantakkan harapan-harapan yang selama ini diidam-idamkan. Mungkin itulah hikmah dibalik petuah bahwa kematian adalah pengingat terbaik bagi manusia.
Sejak tahun 2015 merantau, momen demi momen mendengar berita duka dari kampung halaman itu lebih menyengsarakan daripada cerita kehidupan di tanah rantau. Berita kematian menjadi semacam ilusi yang selalu meneror setiap kali hendak memejamkan mata. Satu hal yang langsung terlintas di kepala ketika melangkah untuk pertama kalinya merantau adalah kekhawatiran keluarga yang ditinggalkan. Selalu muncul bayang-bayang ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentang suara Mama yang semakin parau dan bahu Papa yang semakin rapuh.
Momen yang paling dibenci di perantauan ketika ada telepon dari kampung di tengah malam. Telepon yang tidak diangkat namun tidak berhenti berdering. Pada momen itu, pikiran pertama yang muncul adalah tentang sanak keluarga di kampung halaman.
Serpihan kenangan masa lalu sama sekali tidak bisa digantikan dengan apa pun yang sudah dimiliki saat ini. Kenangan adalah harta yang sewaktu-waktu harus dijenguk. Hidup ini absurd bukan? Karena ketika selalu rindu kampung halaman, kenapa harus bersusah payah merantau? Apakah dengan alasan itu, orang-orang akan berhenti merantau dan memilih untuk menikmati hidup di kampung halaman.
Tidak, sama sekali tidak. Aku yakin Tuhan yang Maha Agung telah menuliskan semua perjalanan hidupku, hari ini dan esok walau tanpa Papa.
Papa dimakamkan sekitar pukul 14.30 WITA sebelum sholat Ashar.
Terlihat Papa menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya, sambil mengangkat tangannya seperti ber-Takbiratul Ihram, dan mendekapkan tangannya diatas dada. Berlalu dalam kesunyian dan meninggalkan perasaan sesak bagi keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, Tugas Papa sudah selesai tepat 1 Rajab 1445 H. Selesai Adzan Subuh, Papaku berpulang ke Rahmatullah. "Ya Allah, ini adalah (saat) datangnya siang-Mu, dan perginya malam-Mu, dan terdengarnya doa-doa untuk-Mu, maka ampunilah Aku, ampunilah Papaku"
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Aa’fu ‘anhu Wa Akrim Nuzulahu Wa Wassi’ Madkhalahu, Waghsilhu Bil Maa i Wats-tsalji Walbarodi Wa Naqqihii Minal khathaa Ya Kamaa Yunaqqats-Tsawbul Abyadhu Minad Danas.
Papa sudah tidak sakit lagi, itu kata-kataku yang terakhir saat melihat Papa menghenbuskan nafas terakhir. Penyesalan tersebarku sepanjang hidupku yang akan menghantui nanti, Papa selalu ada untukku, tapi disaat kepergiannya Aku tidak ada di samping Papa. Tangisanku pecah di kesunyian malam.
Papa yang selalu memberikan nasehat untukku sejak berumah tangga. Papa yang menasehatiku untuk segera cepat-cepat urus pindah tugas setelah menikah, untuk mengikuti suami yang bertugas di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Papa yang sangat ikhlas melepaskanku tanpa ragu bahkan menyemangatiku ikut bersama Suami merantau. Aku masih ingat, Papa berkata saat itu, "Iko pa Ipul neng, cepat-cepat urus itu pindah supaya ngana pe Rumah Tangga mo nonoy"
Papa selalu ada untukku, tapi saat kepergiannya, aku gak berada disampingnya. Papa orang yang gak pernah selalu mengutarakan rindunya padaku, tetapi sangat kurasakan kerinduan Papa. Papa hanya selalu bertanya ke Mama, "Ndaa dia' pa doman mo bui adi?!" Beda dengan Mamaku, setiap menelpon selalu bilang, "Neng eee Mama' mokotanob..". Ya Allah, anak macam apa aku ini?
Moment yang paling menyakitkan dalam hidupku. Semua proses dari papa menghembuskan nafas terakhir hingga penguburannya hanya aku saksikan melalui Video Call, sepanjang perjalanan dari Pohuwato ke Kotamobagu yang ditempuh selama 11 Jam perjalanan. Sepanjang jalan aku terus menangis dan muntah-muntah gak enak badan. Ya Allah monakit dodob aaaaa...
Subuh itu, hatiku patah tak bertepi, cinta pertamaku telah pergi untuk selamanya. Setiap mendengarkan Adzan subuh, air mataku langsung mengalir deras. Kejadian subuh di tanggal 13 Januari 2024 akan membekas selamanya dalam hari-hariku. Semakin lama bukan semakin berkurang, justru semakin menyesakkan dada.
Semua manusia menyadari bahwa yang namanya kematian adalah hal yang pasti bahkan jauh lebih pasti dari kemungkinan tidak jatuhnya makanan yang hendak disuap ke dalam mulut. Setelah itu, semua ambisi berakhir begitu saja dan meluluhlantakkan harapan-harapan yang selama ini diidam-idamkan. Mungkin itulah hikmah dibalik petuah bahwa kematian adalah pengingat terbaik bagi manusia.
Sejak tahun 2015 merantau, momen demi momen mendengar berita duka dari kampung halaman itu lebih menyengsarakan daripada cerita kehidupan di tanah rantau. Berita kematian menjadi semacam ilusi yang selalu meneror setiap kali hendak memejamkan mata. Satu hal yang langsung terlintas di kepala ketika melangkah untuk pertama kalinya merantau adalah kekhawatiran keluarga yang ditinggalkan. Selalu muncul bayang-bayang ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentang suara Mama yang semakin parau dan bahu Papa yang semakin rapuh.
Momen yang paling dibenci di perantauan ketika ada telepon dari kampung di tengah malam. Telepon yang tidak diangkat namun tidak berhenti berdering. Pada momen itu, pikiran pertama yang muncul adalah tentang sanak keluarga di kampung halaman.
Serpihan kenangan masa lalu sama sekali tidak bisa digantikan dengan apa pun yang sudah dimiliki saat ini. Kenangan adalah harta yang sewaktu-waktu harus dijenguk. Hidup ini absurd bukan? Karena ketika selalu rindu kampung halaman, kenapa harus bersusah payah merantau? Apakah dengan alasan itu, orang-orang akan berhenti merantau dan memilih untuk menikmati hidup di kampung halaman.
Tidak, sama sekali tidak. Aku yakin Tuhan yang Maha Agung telah menuliskan semua perjalanan hidupku, hari ini dan esok walau tanpa Papa.
Papa dimakamkan sekitar pukul 14.30 WITA sebelum sholat Ashar.
Watch on TikTokPa' Mokotanob aaa.. Papa so sehat, so nda saki lagi. Papa so liya aneng, Abo pe papa, abo deng arkana so datang toh?? tapi torang so nda baku dapa.. Papa nyanda marah aneng nda dpa riki pa papa? Aneng minta Maaf pa' aaa.. papa tau kalo so tengah malam aneng slalu rinduuu skaliii pa papa.. Neng pe maksud, torang ada datang bukan di moment begini... Pa' eeee dia' bi' nokokuyang kon gina sin akuoy nokodongog bi' ki Papa'
Turut berduka cita
BalasHapus